Sabtu, 23 Januari 2010

strategi peningkatan mutu pendidikan

Upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi agenda penting pemerintah (depdiknas) beberapa tahun terakhir menyusul hasil penilaian internasional, seperti PISA 2003 (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS 2003 (Trends in International Mathematics and Sciences Study), yang menempatkan Indonesia pada posisi buntut dalam hal mutu pendidikan.

Lebih dari itu, laporan terkini dari UNDP tentang Indeks Pembangunan Manusia tahun 2006 juga masih menempatkan Indonesia pada ranking ke-108 dari 177 negara, jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (34), dan Malaysia (61).

Berbagai terobosan dan kebijakan penting telah diambil oleh depdiknas dalam rangka meningkatkan akses pendidikan yang merata dan bermutu sejalan dengan komitmen yang digariskan oleh UNESCO melalui program Education for All (EFA). Ujian Nasional (UN) yang belum lama ini kembali digelar oleh depdiknas dan kebijakan perubahan kurikulum –dari kurikulum 1994 ke KBK, dari KBK ke KTSP– adalah bagian penting dari terobosan penting itu. Sejauhmana kebijakan-kebijakan tersebut mampu meningkatkan mutu pendidikan?

Alih-alih menjadi strategi peningkatan mutu pendidikan, kebijakan UN sesungguhnya telah mengaburkan hakikat pendidikan bermutu. Parameter kebermutuan pendidikan tidak lagi didasarkan pada kebermaknaan individu dalam berperan di dalam kehidupan masyarakat, melainkan melulu didasarkan pada sejauhmana peserta didik mampu mensiasati sederetan soal dalam UN.

Lebih dari itu, kebijakan UN tidak lagi berpihak pada kepentingan siswa, tetapi lebih banyak mendukung kepentingan kekuasaan. Hasil UN setidaknya bisa menjadi alat legitimasi pemerintah untuk mengklaim peningkatan mutu pendidikan yang pada gilirannya bisa menjadi nilai tawar tersendiri bagi pemerintah di mata dunia internasional. Di sinilah, makna kualitas pendidikan telah dimonopoli sedemikian rupa oleh kepentingan pemerintah dan bahkan kepentingan global.

Salah Resep

Penerapan UN sebagai salah satu resep peningkatan mutu pendidikan mencerminkan sebuah kebijakan yang tidak didasarkan pada akar persoalan pendidikan yang sebenarnya. Problem utama merosotnya mutu pendidikan sebenarnya tidak disebabkan oleh lemahnya sistem evaluasi dan kurikulum, melainkan terletak pada rendahnya kualitas guru secara umum dan tidak meratanya persebaran guru-guru profesional.

Menurut laporan Balitbang Depdiknas, misalnya, hanya sekitar 30 persen dari keseluruhan guru tingkat SD di Indonesia yang mempunyai kualifikasi untuk mengajar. Hal yang sama juga terjadi di satuan pendidikan menengah, terutama di lingkungan madrasah. Data Departemen Agama (2006) menyebutkan bahwa sekitar 60 persen guru madrasah tidak mempunyai kualifikasi mengajar. Inilah sebenarnya akar persoalan pendidikan kita.

Namun, seperti yang kita lihat, selama ini kebijakan pemerintah dalam upaya perbaikan mutu pendidikan belum sepenuhnya didasarkan pada akar persoalan di atas. Malah, pemerintah cenderung sibuk dengan kebijakan ‘salah resep’, seperti penerapan UN dan perubahan kurikulum yang sebenarnya belum terlalu mendesak untuk dilakukan.

Terkait dengan kebijakan perubahan kurikulum, penting dicatat bahwa inovasi kurikulum tanpa didukung oleh ketersediaan guru yang mumpuni –yang notabene sebagai agen pelaksana kurikulum di kelas– malah hanya akan semakin membuat runyam mutu pendidikan.

Padahal kalau kita mau belajar dari keberhasilan model pendidikan Finlandia –yang berdasarkan laporan PISA 2000 dan 2003 menempatkan negara welfare state itu pada ranking pertama dalam hal ketercapaian kompetensi aplikatif siswa berumur 15 tahun dalam bidang literasi dan numerasi, justru faktor inovasi kurikulum, sebagaimana dikatakan Simola (2005), tidak berperan signifikan dalam menunjang keberhasilan pendidikan di Finlandia. Ketersediaan guru yang kompeten lah sebenarnya yang merupakan kunci sukses pendidikan di negara tersebut.

Kebijakan strategis

Lalu, apa yang bisa kita lakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional? Setidaknya ada empat kebijakan strategis yang bisa dilakukan.

Pertama, perlunya dilakukan semacam ‘ujian nasional’ bagi semua guru dari tingkat SD sampai SMA. ‘UN’ guru ini digunakan sebagai langkah pemetaan terhadap kompetensi guru secara nasional. Program ini juga penting sebagai upaya melihat sejauhmana persebaran guru-guru yang benar-benar kompeten di bidangnya.

Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru sebagai implementasi UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen sesungguhnya bisa diarahkan pada tujuan di atas. Namun sayangnya, kebijakan tersebut terkesan terlalu akomodatif terhadap tarik ulur kepentingan politis. Semestinya kebijakan tersebut harus benar-benar diarahkan pada upaya menjaring bibit-bibit guru profesional, bukan sekedar untuk ‘balas budi’ terhadap lamanya pengabdian para ‘guru senior’.

Kedua, perlunya kebijakan persebaran guru-guru berkualitas. Selama ini guru-guru berkualitas banyak tersebar di sekolah-sekolah favorit (effective schools) di perkotaan. Hal ini wajar karena mereka melihat jaminan –baik dari sisi ekonomi maupun karier– yang lebih menjanjikan di sekolah-sekolah itu. Hal inilah sebenarnya yang melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antara urban schools dengan rural schools.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan sekolah-sekolah di daerah terpencil berupa kebijakan persebaran guru-guru berkualitas. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan daya tarik yang lebih kepada mereka yang mengajar di sekolah-sekolah pinggiran tersebut, misalnya, dengan ditambahkannya insentif perumahan dan fasilitas pendukung lainnya. Pola pembinaan karir terutama guru-guru PNS bisa diarahkan pada kebijakan ini.

Dalam hal ini, ada baiknya kita mengadopsi sistem pembinaan karier model militer, di mana kader-kader terbaik harus ditempa terlebih dahulu di daerah-daerah yang penuh tantangan yang tidak mudah (contexts of stringency).

Ketiga, sebagai jangka panjang, perlu dilakukan strategi untuk mencari bibit unggul dalam profesi keguruan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara meningkatkan pengakuan dan penghasilan yang lebih kompetitif bagi profesi guru, sehingga hal ini bisa memikat para lulusan terbaik dari SMA untuk melanjutkan ke program keguruan. Keberhasilan pendidikan Finlandia, sebagaimana disebutkan di atas, tidak bisa dilepaskan dari faktor ini. Simola (2005) mensinyalir bahwa program keguruan di Finlandia termasuk jurusan paling diminati oleh para lulusan terbaik SMA, sehingga wajar jika kebanyakan guru Finlandia merupakan bibit unggul yang berkualitas.

Keempat, pemerintah juga perlu melakukan restrukturisasi menyeluruh terhadap lembaga-lembaga keguruan di tanah air, terutama dari segi rekruitmen mahasiswanya, sehingga jaminan kualitasnya semakin unggul dan bisa dipertanggungjawabkan.

Kebijakan-kebijakan strategis di atas seharusnya menjadi pijakan pemerintah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan nasional. Meskipun strategi-strategi itu hasilnya tidak bisa langsung kelihatan, tapi itu akan lebih efektif daripada strategi penerapan kebijakan UN yang terkesan hanya mengambil jalan pintas peningkatan mutu pendidikan yang hasilnya pun masih diragukan banyak pihak.

Minggu, 17 Januari 2010

Perkembangan Nasionalisme Bangsa Minahasa Mulai Jaman Kolonial Sampai Sekarang



PostSubyek: Perkembangan Nasionalisme , Bangsa Minahasa Mulai Jaman Kolonial Sampai Sekarang Tue Oct 28, 2008 8:36 am

Perkembangan Nasionalisme
Bangsa Minahasa Mulai Jaman Kolonial Sampai Sekarang


Bert Supit
Ternyata banyak yang tidak tahu, bert supit (senior) kini sudah berusia lebih dari 80 tahun berbeda dengan dr.Bert Adriaan Supit. Keduanya adalah penulis, pegiat budaya, dan sudah melewati 5 jaman (Belanda, Jepang, Orla, Orba, Reformasi)


Kontribusi pikiran suatu sistem federal bagi
Negara Republik Indonesia dari kacamata Minahasa


Tulisan ini merupakan analisa dari Buku desertasi PhD David E.F. Henley: 'Nationalism and Regionalism' ; Artikel Gerry van Klinken : 'Christianity and Ethnicity in Indonesia', Ratulangi's Intelectuality ; Dan dua buku mutakhir : 'Guns Germs & Steel' oleh Jarod Diamond dan 'The World is Flat' oleh Thomas L Friedman.
Sejarah karakter egaliter dan demokratis serta patriotisme dan nasionalisme bangsa Minahasa sesuai dengan catatan-catatan yang ada, sudah ber-langsung beberapa abad lama-nya jauh sebelum kekuasaan kolonial memasuki kepulauan Nusantara. Dari struktur sosial dan pemerintahan Minahasa, Wanua-Wanua (Desa) di Mina-hasa mempunyai karakter struk-tur pemerintahan ibarat 'Repu-blik Wanua' yang sangat man-diri (merdeka). Selanjutnya, ada dua catatan sejarah abad ke 17 tentang Patriotisme Minahasa sebagai satu bangsa dalam seja-rah peperangan yang dilakukan oleh bangsa Minahasa dengan bangsa Spanyol di tahun 1667 dengan kemenangan Minahasa, dan pertempuran antara bangsa Minahasa dan bangsa Bolaang Mongondow yang terkenal di-dekat Tompaso dengan hasil kemenangan bangsa Minahasa pada tahun 1679.
Perang bangsa Minahasa melawan Spanyol di tahun 1667 yang berakhir dengan kekalahan Spanyol tersebut adalah juga berkat deplomasi bangsa Mina-hasa dengan bangsa Belanda yang pada waktu itu berada di Maluku. Dari hasil kekalahan Spanyol terhadap Minahasa maka pada tanggal 10 Januari 1679 diadakanlah suatu perjan-jian antara dua bangsa yakni bangsa Minahasa dan bangsa Belanda (VOC). Dari perjanjian tersebut, bangsa Minahasa se-benarnya tidak pernah me-ngakui bahwa Minahasa pernah dijajah oleh bangsa Belanda. Kedua bangsa adalah sejajar dan sama derajat. Oleh sebab itu perlakuan Belanda terhadap Minahasa kurang lebih bero-rientasi kepada perjanjian tahun 1679 di mana a.l. aspek pendi-dikan rakyat sangat menonjol. Patriotisme bangsa Minahasa dijaman kolonial diperoleh juga dari catatan-catatan sejarah yakni Perang Tondano (Mina-hasa) dengan Belanda di tahun 1801.

I. Ada beberapa ungkapan pemikiran tokoh-tokoh Mina-hasa jaman kolonial tentang cita-cita Minahasa dalam bentuk Nasionalisme Bangsa Minahasa di jaman kolonial, a.l. adalah:

1. J.U. Mangowal pada tanggal 15 Desember 1915 yang diter-bitkan oleh Nafiri Minahasa pada tahun 1916 dalam kesem-patan peresmian Cabang Mana-do dari organisasi PERSERIKATAN MINAHASA yang berdiri di tahun 1909 oleh orang-orang Minahasa di Jawa mengatakan,
"Minahasa, bangsaku! Jangan-lah engkau kecewa oleh karena keletihan, kemalangan, maupun penindasan. Lihatlah apa yang berlangsung di Eropa di mana tiap orang mencintai bangsanya sehingga bila ia mati di medan pertempuran ia seakan-akan ingin mengatkaan: Ambilah tubuh saya yang fana ini, saya berjuang sampai mati untuk tanahku dan bangsaku.(bersambung)
Kemajuan Minahasa yang sedang kita alami sekarang akan merupakan suatu kenangan yang indah untuk turun - temurun orang Minahasa dan akan merupakan suatu kebesaran yang abadi untuk tanah Minahasa dan bangsa Minahasa."

2. Mengomentari tentang berdirinya PERSERIKATAN MINAHASA di tahun 1909, DR. G.S.S.J. Ratulangi dan F. Laoh di tahun 1917 memberikan komentar tentang Idealisme Nasionalisme Minahasa sbb:
"Semua yang menyangkut perasaan dan berpikir tentang idealisme Nasional Minahasa sudah terkonsentrasi dalam organisasi Perserikatan Minahasa yang didirikan pada tahun 1909".

3. Dr. Sam Ratulangi, dalam Harian Pikiran (Manado) 31 Mei 1930 menyatakan berdirinya Organisasi Politik 'Persatuan Minahasa' di tahun 1927 sbb:
"Maksud utama dari PERSATUAN MINAHASA adalah menjaga keselamatan dan kesejahteraan Bangsa Minahasa. Tidak ada gunanya bagi kita untuk mengingkarinya karena maksud dan tujuannya adalah baik.
Kita tak dapat katakan bahwa sikap tersebut adalah "Egois" karena sikap tersebut adalah bagian mutlak dari Jatidiri Manusia. Semua orang mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus diri sendiri tanpa membahayakan kepentingan masyarakat umum dalam proses tersebut.
Sejalan dengan itu, tiap bangsa mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus diri sendiri tanpa membahayakan kepentingan bangsa lain.
Untuk ini, Persatuan Minahasa harus berikan perhatian utamanya kepada situasi lokal yakni TANAH MINAHASA dan BANGSA MINAHASA. Karena biarpun Bangsa Minahasa sekarang ini telah tersebar di seluruh Nusantara (Indonesia), kita selalu tetap terikat dengan tanah lahir kita dalam ikatan spiritual".

II. GERAKAN PEMIKIRAN NASIONALISME ETNIS MINAHASA.

1. Nasionalisme Regional (Etnis) yang berkembang pada permulaan abad ke 20 sering di gambarkan sebagai salah satu komponen dari bertumbuhnya Gerakan Nasionalisme Indonesia. Tetapi perkembangan nasionalisme Minahasa, adalah juga sebagai ungkapan 'sentimen premordial etnis'. Premordialisme etnis yang dijaman sekarang ditanggapi secara negatif oleh orang-orang 'ultra nasionalis' atau 'pan-nasionalis', sebenarnya adalah sesuatu sifat manusia atau kelompok (etnis) manusia yang sangat alamiah dan oleh sebab itu logis. Karena kenyataan etnis Minahasa sangat terkait dengan ciptaan Tuhan terhadap manusia dan kelompok manusia yang mempunyai sifat-sifat yan sama dengan hak azasi manusia dan hak azasi etnis (*).
Namun demikian, di Minahasa Nasionalisme Lokal yang disebut Nasionalisme Etnis Minahasa yang bersumber secara eksklusif etnis Minahasa adalah suatu perkembangan nasionalisme yang spesifik otonom yang disebabkan oleh berbagai faktor proses modernisasi barat, sama seperti modernisasi barat yang mendukung Nasionalisme Indonesia. Hanya saja perkembangan nasionalisme Minahasa telah berlangsung dalam skala yang lebih kecil tetapi ternyata dimulaikan lebih awal dari proses Nasionalisme Indonesia.
Penelitian dan analisa tentang Nasionalisme Regional / Etnis Minahasa oleh David Henley berlangsung dalam suatu periode relatif pendek hingga tahun 1942 dengan memperhatikan faktor-faktor :
- Sifat karakter prakolonial Minahasa yang mengandung karakter pluralisme, demokratis egaliter, terbuka dan bersemangat tinggi (patriotis).
- Transformasi Minahasa oleh perdagangan koffie, kopra dan cengkih; perkembangan pesat agama Kristen dan Pendidikan modern di Minahasa yang luas.
- Lahirnya Dewan Perwakilan Rakyat Lokal (Minahasa Raad) yang pertama diseluruh Nusantara (1919).
- Kedudukan khusus orang Minahasa jaman kolonial dibandingkan dengan orang-orang Indonesia lainnya.
- Pergumulan banyak orang Minahasa sampai tahun 1942 untuk berjuang berdirinya Negara Indonesia dengan bentuk Federal, bahkan Commonwealth (Persemakmuran) dimana tiap kelompok nasional etnis (bangsa) termasuk Bangsa Minahasa, tetap akan memperoleh status otonomi sempurna.

2. PERAN PEMIMPIN-PEMIMPIN KRISTEN DALAM GERAKAN NASIONALISME MINAHASA
Agama Kristen berkembang sangat cepat di Minahasa. Dalam jangka waktu relatif sangat pendek seluruh penduduk tanah Minahasa sudah menerima agama Kristen menjadi agamanya. Karena itu juga Dewan Pekabaran Injil di Belanda dalam salah satu laporannya mengatakan bahwa Pekabaran Injil di Minahasa adalah 'Mahkota Pekabaran Injil' dari Zending Nederland.
Berdasarkan kenyataan geografis, budaya maupun bahasa dan asal usul orang Minahasa maka sejak awal baik pimpinan Zending Protestan di Belanda maupun Guru - guru dan Pendeta - Pendeta pribumi Minahasa telah berpikir berdirinya Gereja Minahasa yang otonom terlepas dari ikatan organisasi Zending Belanda, Gereja Belanda maupun lepas dari Pemerintahan Kolonial Belanda.
Kesadaran tentang perasaan nasionalisme orang Kristen Minahasa sudah dimulaikan sejak 1875 - 1882 waktu Indische Kerk mengambil alih peran pekerjaan Zending di Minahasa.
W. Sumampow dan J. Walintukan adalah dua pelopor guru Zending di tahun 1892 yang menentang secara terang-terangan kontrol Indische Kerk terhadap sekolah - sekolah Zending. Mereka diberhentikan dari jabatan guru Zending karena mereka memaksakan untuk mengangkat Pendeta-Pendeta orang Minahasa.
Tulang punggung dari suatu gerakan untuk berdirinya Gereja Minahasa yang berdiri sendiri berada dalam jajaran guru-guru Zending yang bekerja di desa-desa Minahasa. Ditahun 1910 suatu asosiasi guru-guru Zending yang dinamakan Pangkal Setia dan dipimpin oleh A.M. Pangkey dan J.U. Mangowal didirikan.
Pangkal Setia bukanlah suatu organisasi guru yang berorientasi politik. Pangkal Setia menganut sikap yang diajarkan Zending yakni : Oposisi Loyal.
Oposisi loyal yang diajarkan Zending tersebut berorientasi kepada pendirian bahwa orang Kristen harus menyuarakan kenabiannya dalam hal kebenaran dan keadilan. Dan dalam kedua hal ini Zending sering tidak sejalan dengan Pemerintahan kolonial.
Harian Zending 'Tjahaja Siang' hampir saja dibreidel oleh Pemerintahan Kolonial oleh karena kritikannya dan pada tahun 1920 sewaktu seluruh staf redaksi dipegang oleh orang Minahasa maka Harian tersebut menjadi lebih kritis dan menjadi trompet politis orang Minahasa.
Pada tahun 1932 Pangkal Setia mengadakan koalisi dengan gerakan Nasionalisme yang sekuler yakni dengan organisasi Persatuan Minahasa.
Gerakan Nasionalisme yang berkembang diantara guru-guru Zending dan para Pendeta asal Minahasa mengalami kulminasi dengan berdirinya KGPM ditahun 1933 dan GMIM di tahun 1934.
Pemimpin-pemimpin (B.W Lapian dan A.Z.R Wenas) kedua gereja tersebut dengan bangga tetap mempergunakan istilah Bangsa Minahasa dan Tanah Air Minahasa sebagai orientasi pengungkapan pendirian Nasionalisme mereka yang identik dengan pemimpin - pemimpin (Ratulangi cs.) politik masyarakat Minahasa pada waktu itu. Bahwa sesuai dengan kenyataan, dua lembaga Gereja KGPM dan GMIM hingga sekarang adalah satu-satunya lembaga yang tetap ada dengan mempertahankan identitas ke-Minahasa-annya.

3. PERSATUAN MINAHASA, 1927
Gerakan Nasionalisme Federal Minahasa.
Apakah Nasionalisme Minahasa berada di luar Wawasan Nasional Indonesia? Jawabnya: Ya dan Tidak. Pada permulaan, aspirasi nasionalisme Minahasa sangat berorientasi kepada pemikiran Minahasa sebagai satu negara yang merdeka, namun dalam perkembangannya sebelum tahun 1942 tersebut kaum intelektual Minahasa mengambil sikap bahwa apapun masa depan politik mereka, tanah air dan bangsa Minahasa akan menjadi bagian dari suatu Indonesia yang lebih luas. Kebanyakan kaum intelegensia Minahasa menerima kenyataan yang ideal akan Indonesia Merdeka, sehingga Ratulangi, Maramis, Laoh, Palar, Mononutu dll turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Tetapi gambaran Indonesia yang mereka pikirkan adalah suatu gambaran yang berlainan dengan apa yang dipikirkan dan diproklamasikan oleh Soekarno.


Terakhir diubah oleh Admin tanggal Wed Oct 29, 2008 12:21 am, total 2 kali diubah
Kembali Ke Atas Go down
Lihat profil user http://paguyubanpulukadang.forumotion.net
Admin
Admin


Jumlah posting: 2171
Registration date: 31.08.08

PostSubyek: Re: Perkembangan Nasionalisme , Bangsa Minahasa Mulai Jaman Kolonial Sampai Sekarang Tue Oct 28, 2008 8:37 am

Tetapi gambaran Indonesia yang mereka pikirkan adalah suatu gambaran yang berlainan dengan apa yang dipikirkan dan diproklamasikan oleh Soekarno.
Bagi sebagian besar kaum intelektual Minahasa, Nasionalisme Persatuan Indonesia berdasarkan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dengan falsafah integralisme Jawa (Soekarno dan Soepomo) dan wawasan 'imperialisme' kerajaan Mojopahit, adalah sesuatu yang asing bagi sebagian besar orang Minahasa. Bagi kaum intelektual Minahasa yang dipelopori oleh Ratulangi cs, Negara Indonesia adalah suatu projek perjuangan politik yang tidak didukung oleh kenyataaan sejarah maupun budaya bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia. Negara Indonesia adalah kenyataan politik berdasarkan wawasan geografis jajahan Belanda. Oleh sebab itu apa yang disebut bangsa Indonesia bagi kaum intelektual Minahasa adalah sesuatu yang abstrak; sehingga bagi mereka Negara Indonesia yang merdeka harus merupakan suatu Federasi dari bermacam - macam bangsa yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia, dimana tiap bangsa akan mempertahankan identitas/otonomi politik maupun budaya sendiri.
Dibawah ini saya kutip ungkapan Sam Ratulangi yang dimuat dalam harian 'Fikiran' Manado tgl. 31 Mei 1930 dan 'Nationale Comentaren' tgl. 26 Nopember 1938 kontrak politik bangsa Indonesia sbb:
"Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politik. Kenyataan ini didasarkan kepada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk suatu persatuan bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekwensinya, kita semua harus menerima, menghormati dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia tersebut. - Namun dilain pihak adalah suatu keharusan yang seimbang bahwa Persatuan Indonesia juga harus mengakui dan menghormati hak azasi dari setiap kelompok etnis untuk mempertahankan otonomi mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut".
Demikianlah interpretasi Ratulangi tentang Persatuan dan Nasionalisme Indonesia.
Pemikiran dan pendirian status Otonomi luas (sempurna) Minahasa dalam sistem Federal Indonesia mengandung suatu perasaan kepedulian yang kuat akan nasib tanah dan bangsa Minahasa yang berorientasi kepada kenyatan masyarakat Minahasa sebagai satu bangsa yang alamiah yakni :
- yang asal usulnya sama
- yang berdiam dalam suatu daerah yang batas-batas geografis jelas
- yang disatukan oleh satu idealisme sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama yang sama.
Semua unsur- tersebut diatas menunjukkan bahwa Minahasa memenuhi syarat-syarat yang mutlak, untuk dapat menyebut dirinya sebagai suatu negara yang berdaulat.
Selanjtnya, dalam sebuah artikel berjudul 'Christianity and Ethnicity in Indonesia; The Intelectual Biography of Sam Ratulangi' yang dibawakan dalam satu simposium di Universitas Frankfurt pada bulan Desember 2003 oleh Gerry van Klinken dari KITVL di Leiden, Nederland; a.l. ia katakan bahwa pemikiran intelektual Nasionalisme Etnis Minahasa; Ratulangi memperolehnya dari penggalian budaya asli Minahasa yang ia hubungkan dengan falsafah semangat 'Bushido' Jepang oleh Nitobe dan semangat falsafah 'kebenaran pragmatis' Eropa (1907) oleh William James. Ratulangi menurut Gerry van Klinken sangat menekankan bahwa Nasionalisme Minahasa ada hubungan yang erat sekali dengan budaya asli Minahasa maupun agama Kristen yang datang ke Minahasa bersamaan dengan budaya modernisasi Eropa. Jadi, Kekristenan dan Budaya asli Minahasa sudah merupakan satu kesatuan yang membentuk Nasionalisme Etnis Minahasa. Dan Ratulangi dengan sangat cemerlang telah menguraikan pikirannya itu dalam berbagai pertemuan mahasiswa-mahasiswa jamannya di Nederland yang turut didengar pula oleh dua orang senior intelektual Ratulangi yaitu van Deventer dan Abendanon.
Dan oleh sebab itu, menurut analisa Gerry van Klinken, Ratulangi sejak tahun 1922 sampai ia meninggal di tahun 1949 sangat konsisten dengan pemikiran sistem federal untuk Republik Indonesia dimana Nasionalisme Minahasa dapat terakomodir. Ratulangi sangat yakin bahwa Nasionalisme Indonesia harus dibangun dari akarnya, yakni nasionalisme yang bertumbuh dari Nasionalisme Bangsa-Bangsa Etnis yang sangat plural yang mendiami seluruh kepulauan Nusantara. Ratulangi sangat yakin bahwa Indonesia Merdeka akan menjadi satu negara yang besar dan kokoh bila ia dibangun atas pondasi nasionalisme bangsa-bangsa etnis yang demokratis dengan identitas budayanya masing-masing.
Namun demikian menghadapi gerakan politik nasionalisme Indonesia yang lebih luas maka kaum intelektual Minahasa yang dipelopori oleh Ratulangi cs, mengambil sikap yang pragmatis dan akomodatif tentang realisme politis, dengan terbentuknya suatu negara Republik Indonesia sebagai nasib perjuangan bersama melawan kolonialisme dari seluruh bangsa-bangsa etnis yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia.
Waktu diadakan perdebatan penyusunan UUD 1945 Ratulangi tidak ikut sebagai anggota BPUPKI. Ia sadar bahwa arus membentuk negara kesatuan RI yang dipelopori oleh Soekarno, Moh. Jamin dan Soepomo terlalu kuat. Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945, Ratulangi yang didukung oleh AA Maramis, J. Latuharhari (Maluku), I Ketut Puja (Bali), Andi Pangerang Peta Rani (Makasar) dan Tajuddin Noor (Kalimantan) serta mahasiswa-mahasiswa asal Minahasa dalam sidang pertama PPKI untuk menetapkan UUD RI, dengan tegas menolak Piagam Jakarta (Syariat Islam) dalam UUD RI tersebut dengan 'ancaman' bahwa Indonesia Timur tidak akan ikut dalam Republik Indonesia, bahkan akan membentuk Negara Indonesia Timur yang berdaulat dengan sistem federal. 'Ancaman' tersebut akhirnya membuahkan pencaputan 'Piagam Jakarta', dan beberapa pasal yang berorientasi Islam juga mengalami perobahan. Sikap Ratulangi dkk yang tegas tersebut ternyata mempunyai implikasi yang panjang sampai sekarang.
Ternyata bahwa pemikiran sistem federal bagi Indonesia dimana Minahasa akan mempunyai status negara bagian, terus diperjuangkan oleh kelompok federalis di Minahasa. Delegasi KKM (Komite Ketatanegaraan Minahasa yang terdiri dari Prof. Dr. Warouw, Prof. Dr. Engelen, Mr. Ingkiriwang, Ranti, Dengah dan Rampen bertolak ke Nederland untuk berjuang di Konperensi Meja Bundar supaya Minahasa diakui sebagai satu negara bagian dalam RIS yang akan dibentuk. Mereka gagal dalam usaha tersebut.
Dalam menerima suatu kenyataan berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka Ratulangi cs tetap teguh dalam pendirian bentuk negara Federal dengan Otonomi yang seluas-luasnya berdasarkan atas idealisme sosial, politik, budaya dan agama. Karena bagi mereka (Ratulangi cs.) Minahasa tetap merupakan suatu Vaderland ketimbang suatu Propinsi; suatu TANAH AIR ketimbang suatu daerah. Dan pemikiran federal Ratulangi tersebut ia telah ulangi dalam satu wawancara dengan seorang wartawan Belanda diakhir hidupnya pada tahun 1949. Berkatalah Ratulangi waktu itu:
"Saya adalah seorang federalis. Saya bercita-cita adanya suatu struktur pemerintahan yang demokratis dan adil bagi Indonesia Merdeka yang ikut saya perjuangkan, agar satuan-satuan daerah yang membentuk Republik Indonesia secara politis psychologis dan ekonomis memiliki suatu daya hidup yang kokoh (Belanda: Levenskrachtig)".
Epiloog
Setelah 60 tahun Indonesia merdeka dengan menganut sistem Negara Kesatuan yang berakibat jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga Malaysia yang sudah sangat maju; dan banyak lagi masalah yang tak terselesaikan di Indonesia, saya mengajak para pembaca merenungkan apa yang ditulis tentang kemajuan Eropa/A.S dibandingkan dengan Cina; kemudian kemajuan India dan Malaysia sebagai dua negara federal yang sukses muncul di abad ke 20 yang diuraikan dalam dua buku terlaris didunia pada awal abad ke 21.
Kedua buku itu adalah: 'GUNS, GERMS and STEEL' oleh Jared Diamond dan 'THE WORLD is FLAT' oleh Thomas L Friedman. Dari sebuah kutipan yang sangat singkat dari kedua buku yang tebalnya masing-masing sekitar 500 halaman, saya kutip satu paragraf yang Jared Diamond mau katakan tentang kemajuan Eropa dibanding dengan Cina sbb:
"China led Europe in technology at least untill the 15th century and might do so again in the future. But why did Europe developed so fast, and not China. I suggested that the underlying reason behind Europe's overtaking China was something deeper than the proximate factors suggested by most historians (e.g. China's Confusionism versus Europe's Judeo-Christian tradition, the rise of western science, the rise of western mercantilism an capitalism etc.). Behind these and other proximate factors, I saw an Optimal Fragmentation Principal, and that is : ultimate geographic factors that led to China becoming unified early and mostly remaining unified thereafter, while Europe remained constantly fragmented. Europe's fragmentation did, and China's unity didn't foster the advance of technology, science and capitalism by fostering competition between states and providing inovators with alternative sources of support and heavens from persecution".
Tentang kemajuan India, Thomas L Friedman berkata sbb:
"Why has India progress rapidly in the last 50 years while it has about 150 million Muslims, the second largest Muslim country after Indonesia. The answer is context. And in particular the secular, free market, democratic context of India, heavily influenced by a tradition of non-violence and Hindu tolerance. India has progressed rapidly because of its brainy, computer wizard and outsourcing character. It has a pride and strong self-identy character.
The French Revolution, the American Revolution, the Indian Federal democracy, are all based on social contracts whose dominant features is that authority comes from the bottom up, and people can and do feel self-empowered to improve their lot. People living in such contexts tend to spend their time focusing on what to do next, not on whom to blame next".
"A South Asian Muslim friend of mine once told me this story: His Indian Muslim family split in 1948, with half going to Pakistan and half staying in India. When he got older, he asked his father one day why the Indian half of the family seemed to be doing better than the Pakistani half. His father said to him, 'Son, when a Muslim grows up in India and he sees a man living in a big mansion high on a hill, he says, "Father, one day, I will be that man". And when a Muslim grows up in Pakistan and sees a man living in a big mansion high on a hill, he says, "Father, one day I will kill that man".' When you have a pathway to be the Man or the Woman, you tend to focus on the path and on achieving your dreams. When you have no pathway, you tend to focus on your wrath and on nursing your memories."
Demikian dua paragraph dari Thomas L. Friedman, wartawan terkenal The New York Times dalam bukunya 'The World is Flat'.
Dari kedua contoh uraian diatas, berdasarkan suatu penelitian dan analisa kontemporer yang sangat dapat dipercaya oleh penulis-penulis ternama didunia tsb. (Jared Diamond and Thomas L. Friedman), dapat kita ambil sari dan maknanya, bahwa perobahan yang diperlukan Negara Indonesia dan orang Indonesia sekarang ini adalah suatu perobahan yang sangat mendasar, yaitu perobahan karakter budaya identitas manusia Indonesia yang harus berorientasi sekaligus kepada perobahan sistem negara yang lebih demokratis (federal) dan bersumber dari budaya jatidiri pluralisme bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia dengan masing-masing bangsa (etnis) mempunyai jatidiri dan hargadiri. Negara Kesatuan RI yang sampai sekarang ingin dipertahankan terus adalah suatu Kesatuan Bangsa dan Negara yang semu, hasil buatan elit manusia Indonesia yang tidak 'rasional' dan 'alamiah'. Kesatuan Negara RI yang kita warisi dari orientasi pemikiran kekuasaan kolonial Belanda adalah kesatuan bangsa dan negara yang sudah gagal karena tidak didukung dan dijiwai oleh budaya dan karakter bangsa-bangsa etnis yang mendiami kepualauan nusantara sejak berabad-abad. Perobahan dan pembaharuan secara komprehensif dan menyeluruh diperlukan bangsa dan negara Indonesia sekarang ini, sehingga seperti yang berlangsung di Eropa, India, Malaysia dan (China), bahwa manusia akan lebih banyak memperhatikan perbuatan yang nyata dengan persaingan yang sehat serta kreatif, dan tidak saja terus menerus bersungut-sungut sambil mempersalahkan orang lain. Perobahan karakter manusia Indonesia harus dibarengi dengan memberikan jalan (pathway) perobahan struktur dan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia kearah sistem jalan (pathway) federal. Tidak ada jalan lain. Semoga!

Senin, 11 Januari 2010

anak anak adalah masa depan bangsa


Hati terasa diiris kalau kita melihat mupun mendengar kekerasan yang di lakukan orang tua kandung, orang tua tiri ataupun orang tua angkat sekalipun. Karena bagi saya ini sangat benar-benar tidak manusiawi sekali. Apalagi kalau melihat anak-anak kecil yang bekerja sampai larut malam ada yang sebagai pengamen, meminta-minta, menyemir sepatu, menjajakan koran sekalipun itu membuat batin saya sangat sakit.

Di mana orang tuanya??? Apa mereka tidak khawatir sedikitpun terhadap anak-anak mereka, hingga mereka diperlakukan tidak sewajarnya. Lagi-lagi kendala faktornya adalah masalah ekonomi yang menjadi pemicunya. Saya tidak habis pikir dengan semua itu, buktinya orang tua saya mampu untuk menyekolahkan saya walaupun sampai SMA. Yang penting bagi mereka ada keterampilan khusus yang didapat. Walaupun saya tahu mereka membanting tulang mencari uang untuk anak-anaknya. Kenapa orang tua anak-anak itu tidak ada pikiran ke arah yang sama seperti orang tua saya??.

Kadang saya juga kesal banget kalau ada orang tua ngomong "Ya sudah mau diapakan lagi, kalau sudah susah ya susah saja....". Padahal kalau kita ada niat yang tulus pasti sesuatu yang kita inginkan akan terwujud sambil kita melatih dengan kesabaran.

Saya sangat menyukai dunia anak-anak mulai dari bayi maupun balita karena bagi saya mereka adalah harapan masa depan orang tuanya kelak. Serta penerus generasi bangsa. Bayangkan kalau ternyata mereka harus hancur sekarang, apa mereka akan mempunyai semangat untuk meraih apa yang mereka cita-citakan.

Semalam ketika saya dan teman-teman hendak pulang kerja menumpangi kereta jurusan Jakarta-Depok, ada seorang anak kecil umurnya sekitar 10-12 tahun dengan pakaian lusuh dan kusam tiba-tiba anak kecil itu tertawa sejadi-jadinya, padahal di sekitar saya tidak ada yang bikin humor. Dia berkata kepada saya "Hati-hati mba, ntar dicopet" (kebetulan saya sedang memegang hp mau sms adik saya). Saya pernah nangkap copet, saya bilang," Eh mau nyopet lu ya. Langsung saya gebukin (pukul) saya bawa ke kantor polisi" Tapi tetap dia langsung tertawa lagi sejadi-jadinya.

Saya ga kehabisan akal. Saya tanya lagi karena besarnya rasa ingin tahu tentang anak itu,"Rumah kamu di mana?" Dia jawab "Saya ngga punya rumah, yang penting saya bisa tidur." Tetap dia dengan tertawanya lagi. Saya lanjutkan "Memang orang tua kamu, ke mana?" Dia bilang "Sudah mati!" Tetap sambil tertawa. Walah-walah ini anak ko' jawabnya ketus (lantang) banget ya, siapa yang mengajarkannya?

Sepertinya dunia luar sudah banyak sekali memberi perubahan yang cukup buruk bagi anak-anak penerus bangsa ini. Bagaimana tidak kekerasan yang terjadi sekarang-sekarang ini justru harus lebih diwaspadai. Ini adalah tugas pemerintah yang harus bekerjasama dengan Komisi Perlindungan Anak (KPA) untuk lebih memperhatikan anak-anak yang statusnya golongan orang yang tidak mampu. Saya pernah melihat seorang Komisi Perlindungan Anak sampai bela-belain pergi ke luar negeri untuk urusan perebutan anak seorang pengusaha kaya raya sampai akhirnya beliau terkenal seperti saat ini. Apakah ia juga akan membela yang tidak mampu untuk melindungi anak-anak yang sangat membutuhkan perlindungan dari mereka???

Mendesak pemerintah untuk mengerjakan PR ini dari tahun ke tahun tetapi selalu dengan hasil yang nihil. Kalau bukan kita yang membantu, siapa lagi???.

masa depan bangsa

ayo bagi yang mau gabung masuk sini aja !!!
marilah tingkatkan masa depan untuk bangsa !!!