Tetapi gambaran Indonesia yang mereka pikirkan adalah suatu gambaran yang berlainan dengan apa yang dipikirkan dan diproklamasikan oleh Soekarno.
Bagi sebagian besar kaum intelektual Minahasa, Nasionalisme Persatuan Indonesia berdasarkan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dengan falsafah integralisme Jawa (Soekarno dan Soepomo) dan wawasan 'imperialisme' kerajaan Mojopahit, adalah sesuatu yang asing bagi sebagian besar orang Minahasa. Bagi kaum intelektual Minahasa yang dipelopori oleh Ratulangi cs, Negara Indonesia adalah suatu projek perjuangan politik yang tidak didukung oleh kenyataaan sejarah maupun budaya bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia. Negara Indonesia adalah kenyataan politik berdasarkan wawasan geografis jajahan Belanda. Oleh sebab itu apa yang disebut bangsa Indonesia bagi kaum intelektual Minahasa adalah sesuatu yang abstrak; sehingga bagi mereka Negara Indonesia yang merdeka harus merupakan suatu Federasi dari bermacam - macam bangsa yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia, dimana tiap bangsa akan mempertahankan identitas/otonomi politik maupun budaya sendiri.
Dibawah ini saya kutip ungkapan Sam Ratulangi yang dimuat dalam harian 'Fikiran' Manado tgl. 31 Mei 1930 dan 'Nationale Comentaren' tgl. 26 Nopember 1938 kontrak politik bangsa Indonesia sbb:
"Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politik. Kenyataan ini didasarkan kepada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk suatu persatuan bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekwensinya, kita semua harus menerima, menghormati dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia tersebut. - Namun dilain pihak adalah suatu keharusan yang seimbang bahwa Persatuan Indonesia juga harus mengakui dan menghormati hak azasi dari setiap kelompok etnis untuk mempertahankan otonomi mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut".
Demikianlah interpretasi Ratulangi tentang Persatuan dan Nasionalisme Indonesia.
Pemikiran dan pendirian status Otonomi luas (sempurna) Minahasa dalam sistem Federal Indonesia mengandung suatu perasaan kepedulian yang kuat akan nasib tanah dan bangsa Minahasa yang berorientasi kepada kenyatan masyarakat Minahasa sebagai satu bangsa yang alamiah yakni :
- yang asal usulnya sama
- yang berdiam dalam suatu daerah yang batas-batas geografis jelas
- yang disatukan oleh satu idealisme sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama yang sama.
Semua unsur- tersebut diatas menunjukkan bahwa Minahasa memenuhi syarat-syarat yang mutlak, untuk dapat menyebut dirinya sebagai suatu negara yang berdaulat.
Selanjtnya, dalam sebuah artikel berjudul 'Christianity and Ethnicity in Indonesia; The Intelectual Biography of Sam Ratulangi' yang dibawakan dalam satu simposium di Universitas Frankfurt pada bulan Desember 2003 oleh Gerry van Klinken dari KITVL di Leiden, Nederland; a.l. ia katakan bahwa pemikiran intelektual Nasionalisme Etnis Minahasa; Ratulangi memperolehnya dari penggalian budaya asli Minahasa yang ia hubungkan dengan falsafah semangat 'Bushido' Jepang oleh Nitobe dan semangat falsafah 'kebenaran pragmatis' Eropa (1907) oleh William James. Ratulangi menurut Gerry van Klinken sangat menekankan bahwa Nasionalisme Minahasa ada hubungan yang erat sekali dengan budaya asli Minahasa maupun agama Kristen yang datang ke Minahasa bersamaan dengan budaya modernisasi Eropa. Jadi, Kekristenan dan Budaya asli Minahasa sudah merupakan satu kesatuan yang membentuk Nasionalisme Etnis Minahasa. Dan Ratulangi dengan sangat cemerlang telah menguraikan pikirannya itu dalam berbagai pertemuan mahasiswa-mahasiswa jamannya di Nederland yang turut didengar pula oleh dua orang senior intelektual Ratulangi yaitu van Deventer dan Abendanon.
Dan oleh sebab itu, menurut analisa Gerry van Klinken, Ratulangi sejak tahun 1922 sampai ia meninggal di tahun 1949 sangat konsisten dengan pemikiran sistem federal untuk Republik Indonesia dimana Nasionalisme Minahasa dapat terakomodir. Ratulangi sangat yakin bahwa Nasionalisme Indonesia harus dibangun dari akarnya, yakni nasionalisme yang bertumbuh dari Nasionalisme Bangsa-Bangsa Etnis yang sangat plural yang mendiami seluruh kepulauan Nusantara. Ratulangi sangat yakin bahwa Indonesia Merdeka akan menjadi satu negara yang besar dan kokoh bila ia dibangun atas pondasi nasionalisme bangsa-bangsa etnis yang demokratis dengan identitas budayanya masing-masing.
Namun demikian menghadapi gerakan politik nasionalisme Indonesia yang lebih luas maka kaum intelektual Minahasa yang dipelopori oleh Ratulangi cs, mengambil sikap yang pragmatis dan akomodatif tentang realisme politis, dengan terbentuknya suatu negara Republik Indonesia sebagai nasib perjuangan bersama melawan kolonialisme dari seluruh bangsa-bangsa etnis yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia.
Waktu diadakan perdebatan penyusunan UUD 1945 Ratulangi tidak ikut sebagai anggota BPUPKI. Ia sadar bahwa arus membentuk negara kesatuan RI yang dipelopori oleh Soekarno, Moh. Jamin dan Soepomo terlalu kuat. Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945, Ratulangi yang didukung oleh AA Maramis, J. Latuharhari (Maluku), I Ketut Puja (Bali), Andi Pangerang Peta Rani (Makasar) dan Tajuddin Noor (Kalimantan) serta mahasiswa-mahasiswa asal Minahasa dalam sidang pertama PPKI untuk menetapkan UUD RI, dengan tegas menolak Piagam Jakarta (Syariat Islam) dalam UUD RI tersebut dengan 'ancaman' bahwa Indonesia Timur tidak akan ikut dalam Republik Indonesia, bahkan akan membentuk Negara Indonesia Timur yang berdaulat dengan sistem federal. 'Ancaman' tersebut akhirnya membuahkan pencaputan 'Piagam Jakarta', dan beberapa pasal yang berorientasi Islam juga mengalami perobahan. Sikap Ratulangi dkk yang tegas tersebut ternyata mempunyai implikasi yang panjang sampai sekarang.
Ternyata bahwa pemikiran sistem federal bagi Indonesia dimana Minahasa akan mempunyai status negara bagian, terus diperjuangkan oleh kelompok federalis di Minahasa. Delegasi KKM (Komite Ketatanegaraan Minahasa yang terdiri dari Prof. Dr. Warouw, Prof. Dr. Engelen, Mr. Ingkiriwang, Ranti, Dengah dan Rampen bertolak ke Nederland untuk berjuang di Konperensi Meja Bundar supaya Minahasa diakui sebagai satu negara bagian dalam RIS yang akan dibentuk. Mereka gagal dalam usaha tersebut.
Dalam menerima suatu kenyataan berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka Ratulangi cs tetap teguh dalam pendirian bentuk negara Federal dengan Otonomi yang seluas-luasnya berdasarkan atas idealisme sosial, politik, budaya dan agama. Karena bagi mereka (Ratulangi cs.) Minahasa tetap merupakan suatu Vaderland ketimbang suatu Propinsi; suatu TANAH AIR ketimbang suatu daerah. Dan pemikiran federal Ratulangi tersebut ia telah ulangi dalam satu wawancara dengan seorang wartawan Belanda diakhir hidupnya pada tahun 1949. Berkatalah Ratulangi waktu itu:
"Saya adalah seorang federalis. Saya bercita-cita adanya suatu struktur pemerintahan yang demokratis dan adil bagi Indonesia Merdeka yang ikut saya perjuangkan, agar satuan-satuan daerah yang membentuk Republik Indonesia secara politis psychologis dan ekonomis memiliki suatu daya hidup yang kokoh (Belanda: Levenskrachtig)".
Epiloog
Setelah 60 tahun Indonesia merdeka dengan menganut sistem Negara Kesatuan yang berakibat jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga Malaysia yang sudah sangat maju; dan banyak lagi masalah yang tak terselesaikan di Indonesia, saya mengajak para pembaca merenungkan apa yang ditulis tentang kemajuan Eropa/A.S dibandingkan dengan Cina; kemudian kemajuan India dan Malaysia sebagai dua negara federal yang sukses muncul di abad ke 20 yang diuraikan dalam dua buku terlaris didunia pada awal abad ke 21.
Kedua buku itu adalah: 'GUNS, GERMS and STEEL' oleh Jared Diamond dan 'THE WORLD is FLAT' oleh Thomas L Friedman. Dari sebuah kutipan yang sangat singkat dari kedua buku yang tebalnya masing-masing sekitar 500 halaman, saya kutip satu paragraf yang Jared Diamond mau katakan tentang kemajuan Eropa dibanding dengan Cina sbb:
"China led Europe in technology at least untill the 15th century and might do so again in the future. But why did Europe developed so fast, and not China. I suggested that the underlying reason behind Europe's overtaking China was something deeper than the proximate factors suggested by most historians (e.g. China's Confusionism versus Europe's Judeo-Christian tradition, the rise of western science, the rise of western mercantilism an capitalism etc.). Behind these and other proximate factors, I saw an Optimal Fragmentation Principal, and that is : ultimate geographic factors that led to China becoming unified early and mostly remaining unified thereafter, while Europe remained constantly fragmented. Europe's fragmentation did, and China's unity didn't foster the advance of technology, science and capitalism by fostering competition between states and providing inovators with alternative sources of support and heavens from persecution".
Tentang kemajuan India, Thomas L Friedman berkata sbb:
"Why has India progress rapidly in the last 50 years while it has about 150 million Muslims, the second largest Muslim country after Indonesia. The answer is context. And in particular the secular, free market, democratic context of India, heavily influenced by a tradition of non-violence and Hindu tolerance. India has progressed rapidly because of its brainy, computer wizard and outsourcing character. It has a pride and strong self-identy character.
The French Revolution, the American Revolution, the Indian Federal democracy, are all based on social contracts whose dominant features is that authority comes from the bottom up, and people can and do feel self-empowered to improve their lot. People living in such contexts tend to spend their time focusing on what to do next, not on whom to blame next".
"A South Asian Muslim friend of mine once told me this story: His Indian Muslim family split in 1948, with half going to Pakistan and half staying in India. When he got older, he asked his father one day why the Indian half of the family seemed to be doing better than the Pakistani half. His father said to him, 'Son, when a Muslim grows up in India and he sees a man living in a big mansion high on a hill, he says, "Father, one day, I will be that man". And when a Muslim grows up in Pakistan and sees a man living in a big mansion high on a hill, he says, "Father, one day I will kill that man".' When you have a pathway to be the Man or the Woman, you tend to focus on the path and on achieving your dreams. When you have no pathway, you tend to focus on your wrath and on nursing your memories."
Demikian dua paragraph dari Thomas L. Friedman, wartawan terkenal The New York Times dalam bukunya 'The World is Flat'.
Dari kedua contoh uraian diatas, berdasarkan suatu penelitian dan analisa kontemporer yang sangat dapat dipercaya oleh penulis-penulis ternama didunia tsb. (Jared Diamond and Thomas L. Friedman), dapat kita ambil sari dan maknanya, bahwa perobahan yang diperlukan Negara Indonesia dan orang Indonesia sekarang ini adalah suatu perobahan yang sangat mendasar, yaitu perobahan karakter budaya identitas manusia Indonesia yang harus berorientasi sekaligus kepada perobahan sistem negara yang lebih demokratis (federal) dan bersumber dari budaya jatidiri pluralisme bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia dengan masing-masing bangsa (etnis) mempunyai jatidiri dan hargadiri. Negara Kesatuan RI yang sampai sekarang ingin dipertahankan terus adalah suatu Kesatuan Bangsa dan Negara yang semu, hasil buatan elit manusia Indonesia yang tidak 'rasional' dan 'alamiah'. Kesatuan Negara RI yang kita warisi dari orientasi pemikiran kekuasaan kolonial Belanda adalah kesatuan bangsa dan negara yang sudah gagal karena tidak didukung dan dijiwai oleh budaya dan karakter bangsa-bangsa etnis yang mendiami kepualauan nusantara sejak berabad-abad. Perobahan dan pembaharuan secara komprehensif dan menyeluruh diperlukan bangsa dan negara Indonesia sekarang ini, sehingga seperti yang berlangsung di Eropa, India, Malaysia dan (China), bahwa manusia akan lebih banyak memperhatikan perbuatan yang nyata dengan persaingan yang sehat serta kreatif, dan tidak saja terus menerus bersungut-sungut sambil mempersalahkan orang lain. Perobahan karakter manusia Indonesia harus dibarengi dengan memberikan jalan (pathway) perobahan struktur dan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia kearah sistem jalan (pathway) federal. Tidak ada jalan lain. Semoga!
hehehehehee
BalasHapusuntung aja ada
hihihii